TV dan video games adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masa kini. Apalagi, TV sekarang ini hadir dengan berbagai fitur canggih yang memanjakan mata dan telinga, bahkan terkoneksi dengan internet dan perangkat canggih lainnya. Games pun tak kalah heboh. Beragam console, seperti Wii, Nintendo, XBox, PlayStation (PS), PSP, hingga games yang bisa di-download secara online utk PC dan tablet bertebaran.
Sayangnya, baik TV dan games sering kali --entah sengaja maupun tidak—menampilkan adegan yang tidak mendidik, bahkan berbau kekerasan, yang tak pantas dilihat anak, baik fisik atau verbal. Reality show yang harusnya cuma menghibur, tak lepas dari adegan dan candaan yang tak pantas. Bahkan, nonton berita saja tak aman! Adegan kekerasan ditayangkan secara nyata dan berulang-ulang. TKP bunuh diri dengan bekas-bekas alat bunuh diri pun ditayangkan.
Sayangnya, baik TV dan games sering kali --entah sengaja maupun tidak—menampilkan adegan yang tidak mendidik, bahkan berbau kekerasan, yang tak pantas dilihat anak, baik fisik atau verbal. Reality show yang harusnya cuma menghibur, tak lepas dari adegan dan candaan yang tak pantas. Bahkan, nonton berita saja tak aman! Adegan kekerasan ditayangkan secara nyata dan berulang-ulang. TKP bunuh diri dengan bekas-bekas alat bunuh diri pun ditayangkan.
Untuk video games, tayangan kekerasan dan berbau pornografi bertebaran. Misalnya, games Tomb Raider yang dirilis Mei lalu. Dalam ulasannya, dengan gamblang menyebutkan memiliki unsur kekerasan yang kuat, seperti kesakitan dan kematian sosok Lara bisa menyeramkan, lengkap dengan teriakan yang kuat. Alasan Tomb Raider memerlukan unsur kekerasan, menurut Ian Livingstone sebagai bos perilis games, agar cerita yang ingin disampaikan serta petualangan Lara menjadi penuh perjuangan, dan penderitaannya bisa dirasakan nyata oleh gamers.
Jika pengaruh TV dan games begitu kuat, apakah perangkat TV dan games harus dibuang dari rumah? Tidak perlu seekstrim itu! Di sinilah pengawasan dan kontrol orang tua terhadap kebiasaan anak menonton TV dan bermain games perlu dilakukan. Tak hanya sebagai mandor, orang tua juga siap menjadi pembimbing untuk memilih tayangan yang pas.
1. Buat pembatasan waktu, yakni:- Anak di bawah 2 tahun: Sama sekali tidak boleh menonton atau main games yang ada di layar, termasuk iPad, tablet, dll. - Usia 2 - 6 tahun: Diperbolehkan sampai 1 jam, tapi dipecah-pecah. Misalnya, 15 - 30 menit menonton atau main, lalu istirahat. Setelah itu, baru main lagi. - Di atas usia itu: Maksimal 3 jam. Sebaiknya, dipecah-pecah sebab anak butuh melakukan hal lain dan beraktivitas fisik.
2. Pembatasan konten. Larang anak menonton tayangan mengandung unsur horor, seksual, dan pornografi. Pilih tayangan dan video games yang bermanfaat dan mendidik bagi anak.
3. Jika anak sudah terlanjur terpapar? Mau tak mau orang tua harus berupaya mengembalikan anak kembali ke track-nya. Secara konsisten (bukan galak ya. Ma...), tegaskan pada anak bahwa perilaku dia tidak benar. Selanjutnya, dampingi secara intensif. Saat menonton, tanyakan: Menurut dia, apakah perilaku itu pantas dilakukan atau tidak? Apa akibatnya? Dan seterusnya. Diskusi semacam ini bisa mendewasakan anak sekaligus mendengar pandangannya, yang kadang-kadang bisa di luar dugaan. Cara ini untuk anak yang usianya lebih besar, ya.
4. Untuk pembatasan menonton TV dan main video games, terutama untuk usia anak yang lebih besar, bisa juga dengan cara menunjukkan hak dan kewajibannya. Misalnya, Ia boleh main games setelah belajar, membuat PR, dan membereskan barang-barangnya untuk sekolah. Jika sudah beres, buat perjanjian hingga jam berapa Ia boleh bermain. Tegas, konsisten, tapi tetap ramah, ya. Aturan pembatasan ini jangan mundur atau batal hanya karena rengekan anak.
5. Kenalkan anak pada aktivitas yang real, seperti berenang, bermain bola, sepeda, bulutangkis, berenang, permainan tradisional (petak umpet, gobak sodor, dll), ballet, dll.
Sumber : www.parenting.co.id
Berbagi
Komentar