Anak yang Serba Tahu
“Anak usia 7 dan 8 tahun kini lebih banyak memahami lingkungan sekitar, dan mereka bangga terhadap pengetahuan dan kemampuan barunya,” kata Lisa Spiegel, cofounder Soho Parenting di New York City. “Secara alami, mereka ingin menampakkan kemampuan dan menerima umpan balik positif.” Namun, hal itu bisa menimbulkan masalah ketika sikap sok tahu anak Anda mulai berdampak pada cara anak-anak lain dan orang dewasa memandang dia. Pakar-pakar kami membantu Anda memahami alasan anak bersikap seperti itu dan cara Anda meredam hal tersebut.
Dia fokus kepada teman-temannya.
Anak usia ini peka terhadap perilaku teman-temannya, dan ego anak lebih mudah terluka. Pada level tertentu, anak percaya bahwa tahu segala hal dapat memberi pengaruh sosial.
Ajari anak untuk memertimbangkan penerimaan teman-teman atas perilakunya. Jika Anda melihat si kecil bersikap sok tahu, dekati dia saat sedang berdua saja dengan anak dan jelaskan apa yang Anda saksikan dengan cara yang lembut tapi serius, saran Fran Walfish, PsyD, penulis The Self-Aware Parents: Resolving Conflict and Building a Better Bond With Your Child. Lontarkan kalimat seperti, “Tadi di taman, Mama mendengar kamu berkata Sophie salah saat bermain, dan dia tampak kecewa.” Lalu tanyakan apa yang akan dia rasakan jika Sophie berkata bahwa dia salah. Sarankan cara yang lebih ramah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat, misalnya, “Aku punya pendapat yang agak berbeda,” atau “Aku tidak setuju.” Tentu saja sikapnya tidak dapat berubah dalam sekejap, tapi Anda dapat menanamkan bibit empati.
Kemampuan verbalnya makin baik.
Pada usia 7 tahun, anak Anda sudah mengumpulkan banyak informasi. Gurunya mungkin berkata dia terus tunjuk tangan atau meneriakkan jawaban. Memang bagus jika dia antusias, tapi dia tidak sebaiknya mendominasi kelas.
Jelaskan bahwa dia perlu memberi ruang kepada teman-teman. Jika Anda memulai dialog soal perasaan teman-temannya ketika dia terus mendominasi, tahap pembicaraan berikutnya adalah seputar memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi. Mulailah dengan memberi contoh sehingga dia tahu maksud Anda. Anda bisa berkata, “Mama lihat di kelas karate bahwa kamu selalu menjawab semua pertanyaan sensei, tapi banyak anak yang juga mengacungkan tangan. Setiap orang sebaiknya mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepada orang lain apa yang dia ketahui.” Katakan bahwa jika dia memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbagi, mereka cenderung akan mendengarkan saat dia bicara.
Dia terbiasa dipuji.
Selama bertahun-tahun, Anda memberi selamat atas setiap tonggak perkembangan yang dicapai anak. Dia makan bayam untuk pertama kali! Sudah bisa menangkap bola! Membaca buku pertamanya! Maka wajar jika dia mencari dukungan Anda dengan cara menekan tombol pujian yang Anda miliki. “Jika Anda berkata bahwa segala hal yang dia lakukan itu mengagumkan, dia terus mencari pujian setiap saat,” kata Pete Stavinoha, PhD, direktur layanan neuropsikologi di Children’s Medical Center of Dallas.
Puji dia, tapi sedikit dikurangi. Misalnya, daripada memuji setiap jawaban benar di PR-nya, beri komentar tentang usaha anak secara keseluruhan. Jika Anda mengurangi frekuensi pujian, Anda mengajari dia untuk menyukai apa yang dia lakukan, bukan melulu mengharapkan pujian Anda. Lalu, ketika dia berada di sekolah atau sedang bersama teman-teman, dia tidak akan terkejut ketika wawasannya tidak mendapat respons besar dari orang lain.
Dia sebenarnya mencari kompensasi.
“Anak yang merasa minder di satu hal biasanya menyikapi hal lain secara berlebihan untuk menutupi kekurangannya,” kata Spiegel. Jika anak Anda terus mengatakan kepada teman-temannya betapa dia paham seluk-beluk Pokemon, mungkin dia merasa kurang dalam bidang lain. Mungkin sahabatnya sudah mahir bermanuver dengan sepeda. Mungkin anak Anda berpikir, “Apa kelebihanku dibanding dia–dan bagaimana cara menunjukkannya?”
Katakan bahwa memiliki talenta berbeda adalah hal yang wajar, kata Spiegel. “Temannya akan selalu lebih baik dibanding dia dalam beberapa hal, begitu juga sebaliknya. Perbedaan itu baik dan patut dirayakan.”
Sumber : http://parentsindonesia.com/
Berbagi
Komentar