Kurang Tidur, Kurang Cerdas?
Secara umum, tidur dibagi ke dalam dua tahap, yakni tahap REM (rapid eye movement)
dan Non-REM. Tahap tidur REM adalah tahap tidur ketika mimpi
berlangsung, sementara tahap Non-REM disebut juga tahap tidur dangkal
atau kondisi antara bangun dan tidur. Khususnya tahap tidur REM, otak
masih bekerja sementara tubuh tidak aktif. “Tahap tidur REM, dipercaya
sebagai tahap tidur saat kemampuan kognitif dijaga,” kata Dr. Andreas A.
Prasadja, sleep technologist dari Sleep Disorder Clinic, Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta.
Pada kenyataanya, tidur REM memang memiliki peranan penting dalam perkembangan otak seorang anak. Sebab dalam tidur REM, otak masih dalam keadaan bekerja sementara tubuh tidak aktif. Seorang bayi yang baru lahir menghabiskan 50 persen tidur REM dari total waktu tidurnya. Pada saat ini, terjadi rangsangan-rangsangan yang dibutuhkan bayi untuk mematangkan jaringan-jaringan saraf maupun untuk membentuk perkembangan sistem saraf yang tepat. Perlu diketahui jumlah tidur REM berkurang seiring dengan pertambahan usia. Memasuki usia balita, lama tidur REM adalah sekitar 25 persen, sama seperti orang dewasa, dan itu berlangsung hanya selama 90-120 menit dari total tidur.
Tidur dan Kecerdasan
Tidak sedikit penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara tidur dengan kecerdasan. Sebagai contoh, Penelitian dari National Sleep Foundation menunjukkan, anak-anak yang cukup tidur mempunyai prestasi di bidang olahraga dan akademis lebih baik dibandingkan yang kurang tidur. Penelitian dari Harvard Medical School memperlihatkan bahwa kemampuan belajar seseorang menurun setelah waktu tidurnya dikurangi. Selain itu, penelitian yang dipimpin Dr. Avi Sadeh dari Tel Aviv University, melibatkan 77 anak kelas 4 dan 6 SD, menunjukkan bahwa kurangnya 1 jam waktu tidur salam dengan kehilangan 2 tahun waktu tumbuh kembang dan kematangan kognitif.
Untuk menentukan cukup tidaknya tidur seorang anak, harus dilihat dari kuantitas sekaligus kualitas. “Pernyataan yang menyatakan bahwa kualitas tidur jauh lebih penting daripada kuantitas sebenarnya terlalu menyesatkan,” ujar Dr. Andreas.
Bagaimanapun, gangguan tidur, seperti sleep apnea (mendengkur), sleepwalking (ngelindur), sleep talking (mengigau), night terror ataupun mimpi buruk bisa mengganggu kualitas tidur. Khususnya pada anak-anak, demi melawan rasa kantuk yang muncul akibat buruknya kualitas tidur, mereka akan menjadi hiperaktif. Padahal terpotongnya waktu tidur (termasuk tahap REM) akan menganggu kemampuan anak dalam berkonsentrasi termasuk perkembangan intelegensianya.
Di luar gangguan tidur yang memang umum ditemui pada anak-anak, ada pula gangguan yang disebabkan oleh ulah orang tua yang sebenarnya tidak disadari. “Saya pernah punya pasien remaja yang mengalami gangguan pola tidur. Intinya, dia sering terbangun di malam hari. Setelah diteliti, ternyata sewaktu masih bayi, dia sering dibangunkan ayahnya di tengah malam. Alasannya sepele. Ayahnya yang seharian bekerja dan baru sampai di rumah saat malam telah larut rupanya ingin sejenak menghabiskan waktu bersamanya. Jadi, si ayah membangunkan dia di tengah malam demi bisa bercanda dengannya. Jadi tanpa disadari, sang ayah telah menyebabkan pola tidur si anak menjadi kacau,” Dr. Andreas bercerita.
Pada kenyataanya, tidur REM memang memiliki peranan penting dalam perkembangan otak seorang anak. Sebab dalam tidur REM, otak masih dalam keadaan bekerja sementara tubuh tidak aktif. Seorang bayi yang baru lahir menghabiskan 50 persen tidur REM dari total waktu tidurnya. Pada saat ini, terjadi rangsangan-rangsangan yang dibutuhkan bayi untuk mematangkan jaringan-jaringan saraf maupun untuk membentuk perkembangan sistem saraf yang tepat. Perlu diketahui jumlah tidur REM berkurang seiring dengan pertambahan usia. Memasuki usia balita, lama tidur REM adalah sekitar 25 persen, sama seperti orang dewasa, dan itu berlangsung hanya selama 90-120 menit dari total tidur.
Tidur dan Kecerdasan
Tidak sedikit penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara tidur dengan kecerdasan. Sebagai contoh, Penelitian dari National Sleep Foundation menunjukkan, anak-anak yang cukup tidur mempunyai prestasi di bidang olahraga dan akademis lebih baik dibandingkan yang kurang tidur. Penelitian dari Harvard Medical School memperlihatkan bahwa kemampuan belajar seseorang menurun setelah waktu tidurnya dikurangi. Selain itu, penelitian yang dipimpin Dr. Avi Sadeh dari Tel Aviv University, melibatkan 77 anak kelas 4 dan 6 SD, menunjukkan bahwa kurangnya 1 jam waktu tidur salam dengan kehilangan 2 tahun waktu tumbuh kembang dan kematangan kognitif.
Untuk menentukan cukup tidaknya tidur seorang anak, harus dilihat dari kuantitas sekaligus kualitas. “Pernyataan yang menyatakan bahwa kualitas tidur jauh lebih penting daripada kuantitas sebenarnya terlalu menyesatkan,” ujar Dr. Andreas.
Bagaimanapun, gangguan tidur, seperti sleep apnea (mendengkur), sleepwalking (ngelindur), sleep talking (mengigau), night terror ataupun mimpi buruk bisa mengganggu kualitas tidur. Khususnya pada anak-anak, demi melawan rasa kantuk yang muncul akibat buruknya kualitas tidur, mereka akan menjadi hiperaktif. Padahal terpotongnya waktu tidur (termasuk tahap REM) akan menganggu kemampuan anak dalam berkonsentrasi termasuk perkembangan intelegensianya.
Di luar gangguan tidur yang memang umum ditemui pada anak-anak, ada pula gangguan yang disebabkan oleh ulah orang tua yang sebenarnya tidak disadari. “Saya pernah punya pasien remaja yang mengalami gangguan pola tidur. Intinya, dia sering terbangun di malam hari. Setelah diteliti, ternyata sewaktu masih bayi, dia sering dibangunkan ayahnya di tengah malam. Alasannya sepele. Ayahnya yang seharian bekerja dan baru sampai di rumah saat malam telah larut rupanya ingin sejenak menghabiskan waktu bersamanya. Jadi, si ayah membangunkan dia di tengah malam demi bisa bercanda dengannya. Jadi tanpa disadari, sang ayah telah menyebabkan pola tidur si anak menjadi kacau,” Dr. Andreas bercerita.
Berbagi
Komentar